Edisi 1832
Sebagaimana kita ketahui, bahwa prasangka buruk kepada orang lain adalah akhlak yang tercela dan dilarang dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kalian yang mau memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujuraat: 12).
Renungkanlah ayat ini, ketika Allah Ta’ala menyebutkan tiga rangkaian dosa, yaitu su’udzan (buruk sangka tanpa dasar), tajassus (berusaha mencari-cari keburukan orang lain) dan ghibah (menggunjingkan orang lain).
Orang yang memiliki sifat suka berburuk sangka kepada orang lain tanpa dasar, maka dia akan berusaha mencari-cari kesalahan dan keburukan saudaranya tersebut untuk mengecek dan membuktikan prasangkanya. Inilah yang disebut dengan tajassus. Sedangkan tajassus itu sendiri adalah pintu awal menuju dosa berikutnya, yaitu ghibah. Karena orang tersebut berusaha untuk menampakkan aib dan keburukan saudaranya yang berhasil dia cari-cari, meskipun dia berhasil mendapatkannya dengan susah payah.
Sekali lagi, renungkanlah, ketika su’udzan tersebut diiringi dengan dua dosa besar lainnya, yaitu tajassus dan ghibah. Karena ketika seseorang sudah berburuk sangka kepada saudaranya, dia akan melakukan tajassus, yaitu dia mencari-cari bukti aib dan keburukan saudaranya tersebut untuk membuktikan prasangkanya. Dan jika dia sudah menemukannya, dia akan bersemangat untuk melakukan ghibah, alias menyebarkan keburukan saudaranya tersebut. Inilah urutan yang disebutkan dalam ayat di atas.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,
“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (H.R. Bukhari-Muslim).
Inilah hukum asal prasangka buruk terhadap sesama muslim, yaitu terlarang. Karena kehormatan seorang muslim pada asalnya terjaga dan mulia.
Prasangka buruk yang dibolehkan
Namun ketahuilah, ada prasangka buruk yang dibolehkan. Syaikh As Sa’di menjelaskan surat Al Hujurat ayat 12 di atas, “Allah Ta’ala melarang sebagian besar prasangka terhadap sesama Mukmin, karena ‘sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa’. Yaitu prasangka yang tidak sesuai dengan fakta dan bukti-bukti” (Taisir Karimirrahman). Maknanya, jika suatu prasangka didasari bukti atau fakta, maka tidak termasuk ‘sebagian prasangka‘ yang dilarang.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:
“Maka yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah hendaknya tidak berprasangka buruk kepada saudaranya sesama muslim kecuali dengan bukti. Tidak boleh meragukan kebaikan saudaranya atau berprasangka buruk kepada saudaranya kecuali jika ia melihat pertanda-pertanda yang menguatkan prasangka buruk tersebut, jika demikian maka tidak mengapa” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/9619).
Maka prasangka yang didasari oleh bukti-bukti, atau pertanda, atau sebab-sebab yang menguatkan tuduhan itu dibolehkan. Semisal jika kita melihat seorang yang datang ke parkiran motor lalu membuka paksa kunci salah satu motor dengan terburu-buru, kita boleh berprasangka bahwa ia ingin mencuri. Atau kita melihat orang-orang berkumpul di pinggir jalan disertai botol-botol khamr dengan wajah kuyu dan mata sayu, kita boleh berprasangka bahwa mereka sedang mabuk-mabukan. Dan contoh semisalnya.
Macam-macam prasangka buruk
Jika telah kita pahami penjelasan di atas, ketahuilah bahwa para ulama membagi prasangka buruk atau suuzhan menjadi 4 macam:
- Suuzhanyang haram, yaitu suuzhan kepada Allah, Nabi dan kepada sesama mukmin tanpa bukti atau pertanda yang nyata.
- Suuzhanyang dibolehkan, yaitu suuzhan kepada sesama manusia yang memang dikenal penuh keraguan, sering melakukan maksiat. Juga termasuk suuzhan kepada orang kafir terhadap berbagai perbuatan kekufuran yang mereka lakukan.
- Suuzhanyang dianjurkan, yaitu suuzhan kepada musuh dalam suatu pertarungan. Abu Hatim Al Busti menyatakan:
“orang yang memiliki permusuhan dan pertarungan dengan seseorang dalam masalah agama atau masalah dunia, yang hal tersebut mengancam keselamatan jiwanya, karena makar dari musuhnya. Maka ketika itu dianjurkan berprasangka buruk terhadap tipu daya dan makar musuh. Karena jika tidak, ia akan dikejutkan dengan tipu daya musuhnya sehingga bisa binasa”
- Suuzhanyang wajib, yaitu suuzhan yang dibutuhkan dalam rangka kemaslahatan syariat. Seperti suuzhan terhadap perawi hadits yang di-jarh. (diringkas dari Mausu’atul Akhlak Durar Saniyyah, http://www.dorar.net/enc/akhlaq/2283)
Siapa yang diberi udzur (penghalang/alasan atas tuduhan buruk)?
Dari penjelasan di atas juga kita ketahui bahwa, perkataan salaf semisal:
“Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya”
Tidak berlaku bagi muslim yang dikenal gemar dengan kemaksiatan atau kefasikan. Adapun muslim yang tidak dikenal melakukan kemaksiatan dan kefasikan, maka haram dinodai kehormatannya dan haram bersuuzhan kepadanya. Dan inilah hukum asal seorang muslim.
Terutama orang-orang muslim yang dikenal dengan kebaikan, maka hendaknya mencari lebih banyak alasan untuk berprasangka baik kepadanya. Bahkan, jika ia salah, hendaknya kita maafkan.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (H.R. Ibnu Hibban 94).
dalam riwayat lain,
“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd (hukuman karena melanggar syariat)” (H.R. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, 638).
Jauhkan diri dari tuduhan dan hal yang bisa menimbulkan prasangka
Jika telah dipahami penjelasan di atas, yaitu boleh berprasangka buruk kepada seseorang jika disertai bukti atau pertanda yang jelas. Maka, konsekuensinya seorang mukmin hendaknya menjauhkan diri dari hal yang dapat menimbulkan tuduhan dan prasangka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Siapa yang menjauhkan diri dari syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam syubhat, ia akan terjerumus dalam keharaman. Sebagaimana pengembala yang mengembalakan hewannya di dekat perbatasan sampai ia hampir saja melewati batasnya. Ketahuilah batas-batas Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Misalnya, tidak layak seorang muslim berada di dekat-dekat tempat perzinaan (walaupun tidak berzina) tanpa ada hajat, tidak layak seorang muslim sengaja menenteng botol khamr (walaupun tidak diminum) untuk bercanda atau iseng saja, tidak layak seorang muslim berada di restoran makanan haram (walaupun tidak makan) tanpa hajat, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan tuduhan lainnya.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.
Ditulis Ustaz Yulian Purnama, S.Kom
https://muslim.or.id/25800-prasangka-buruk-yang-dibolehkan.html
Muraja’ah Ustaz Abu Salman, B.I.S.